Jakarta, Intentnews.co.id – Perseteruan hukum antara wartawan Rizky Chaniago dengan PT Astrindo Senaputra memasuki babak baru. Alih-alih mundur setelah disomasi, Rizky justru mendapat dukungan hukum dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jakarta. Melalui surat resmi tertanggal 15 September 2025, PBHI melayangkan jawaban somasi sekaligus Somasi I kepada PT Astrindo Senaputra.
Somasi ini bukan sekadar respons hukum formal. Lebih jauh, ia membuka diskursus penting soal bagaimana korporasi, bahkan yang memiliki kedekatan dengan institusi negara, bisa menggunakan instrumen hukum untuk menekan kebebasan pers.
Klarifikasi yang Berbuah Intimidasi
Menurut PBHI, kliennya, Rizky Chaniago, hanya menjalankan tugas jurnalistik saat berupaya meminta klarifikasi kepada PT Astrindo Senaputra. Namun, bukan informasi yang didapat, justru intimidasi dan somasi yang diterima.
Padahal, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 secara tegas melindungi hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi. Pasal 18 UU Pers bahkan mengancam pidana dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta bagi siapa pun yang menghalangi kerja pers.
“Somasi Astrindo jelas merupakan upaya pembungkaman,” tulis PBHI dalam suratnya. Tuduhan pencemaran nama baik dianggap tidak berdasar, karena unsur kesengajaan menyerang nama baik sama sekali tidak terpenuhi.
Korporasi dan Jurus “Somasi”
Fenomena korporasi besar melayangkan somasi terhadap jurnalis bukanlah hal baru. Dalam banyak kasus, somasi digunakan bukan sekadar untuk klarifikasi, melainkan senjata intimidasi yang bisa menciptakan efek gentar (chilling effect) di kalangan pers. Wartawan yang seharusnya kritis akhirnya memilih bungkam demi menghindari perkara hukum yang melelahkan.
Kondisi ini semakin rawan ketika perusahaan memiliki akses politik dan jejaring kekuasaan. Alih-alih transparan, jalur hukum dipakai untuk mengunci kritik.
Pengawasan Publik yang Dibelokkan
Dalam konteks Astrindo, PBHI menegaskan bahwa investigasi wartawan justru merupakan bagian dari pengawasan publik terhadap BUMN dan institusi negara. Artinya, kepentingan publik yang lebih besar sedang dipertaruhkan: hak masyarakat untuk tahu versus kepentingan korporasi menjaga citra.
Jika intimidasi semacam ini dibiarkan, masyarakat akan kehilangan salah satu mekanisme kontrol terkuatnya, yakni pers yang independen.
Tuntutan Permintaan Maaf
Melalui Somasi I, PBHI Jakarta menuntut agar PT Astrindo Senaputra menyampaikan permohonan maaf terbuka di media massa nasional. Tidak hanya demi klien mereka, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab terhadap prinsip kebebasan pers.
Kasus ini menjadi ujian serius: apakah Indonesia konsisten menegakkan demokrasi dengan menjamin kemerdekaan pers, atau justru membiarkan praktik intimidasi korporasi terus berlanjut?